“Duh, masa’ nggak liat, sih? Itu, tuh! Pokoknya ada di ketiga sebelah kiri dari pohon sebelah patung itu!”
“hm.. mana?”
Ricki mulai memicingkan matanya yang agak belo’ itu. Agar terlihat lebih jelas.
“Eh, apaan tuh? Kok ada kayak cewek? Rambutnya berantakan banget!”
“Kak, daritadi Luna mau ngomong itu”
“Yuuk!!” Ricki menarik tangan Luna.
“’Yuk’ untuk apa?”
“Kita temuin dia! Gue penasaran, siapa tau aja itu cewek meski belum nyisir tapi tetep cantik”
“Nggak, ah! Gue disini aja!”
“Ayo, ikut!”
Ricki memaksa Luna untuk ikut. Dan akhirnya Luna yang mengalah karena tenaga Ricki agak lebih kuat dan lebih mudah untuk menarik tangan Luna. Sehingga Luna tidak bisa berkutik.
Semakin lama mereka kian mendekati sosok tersebut. Dan ternyata sosok itu memang asli.
“Mbak, sedang apa disitu?” Tanya Ricki.
Tak ada yang menyahut.
“Mbak, sedang apa disitu?” Tanya ricki lagi.
Suasana tetap sunyi. Sudah tiga kali Ricki melontarkan pertanyaan yang sama, namun sosok itu belum juga menyahut. Dan karena udah nggak sabar. Sementara hari pun kian senja. Ricki menepuk pundak wanita itu.
“Lun, kok aneh, ya? Coba pegang, deh!”
“Kak, kok rasanya kayak kain-kain berbulu gitu. Kulitnya nggak mulus kayak gue”
Ketika mereka melihat wajahnya, ternyata sosok itu adalah sebuah boneka besar yang entah siapa yang membuat dan menaruhnya disitu. Lantas, siapa yang tadi menangis? Satu pertanyaan itu melayang-layang dipikiran Luna.
“Kak. Pulang, yuk!”
“Sial, Cuma boneka!”
“Masih mending boneka….. daripada hantu” Luna semakin merinding dan mengajak Ricki untuk cepat pulang dan mentraktirnya makan.
“Oke, yuk pulang!”
***
Kukuruyuuuk……
Pagi membangunkan matahari. Matahari membangunkan ayam. Dan ayam membangunkan Luna. Luna beranjak dari tidurnya dan tak lupa menyanyikan lagu kebangsaannya yang biasa dinyanyikannya tiap pagi.
MOS telah usai. Dan Luna pun Nampak sedang duduk di bawah pohon rindang sambil menyeruput minumannya dengan sedotan. Pohon rindang itu kini sudah menjadi markas Luna bersama kawannya. Dan pohon itu diibaratkan surge bagi mereka karena burung-burung cerewet itu tak tampak lagi. Pagi ini, Luna sedang sendiri dan Lucki tiba-tiba datang menghampirinya.
“Hai Luna! Kita sekelas lho! Nggak nyangka, ya?”
“hehe iya”
“Bek, perkenalkan ini Luna” Lucki memperkenalkan Luna pada Obit.
“Gue Obit” ucap Obit sambil menjulurkan tangannya.
“Luna” sahut Luna sambil menyambut tangan Obit.
“Woi! Nama lo ‘Kibek’!” potong Lucki.
“tapi nama asli gue ‘Obit’!”
“Sorry, gue Cuma bercanda kok, Bek!” tukas Lucki, “Luna, panggil dia ‘Kibek’ aja, ya! Rambutnya aneh, sih” olok Lucki sambil mengacak-acak rambut Obit yang keriwil.
Dan pagi ini, Luna malah menyaksikan pertarungan kejar-mengejar antara Lucki dan Obit hingga bel berbunyi tanda pertarungan tersebut telah berakhir.
***
Tiga puluh menit telah berlalu. Tiba-tiba di pintu kelas Luna terdengar seseorang menggedor-gedor pintu.
‘Tok! Tok! Tok!’
“Masuk!”
“Permisi, bu..”
“Eh, sini dulu! Namamu siapa?”
“Lusy”
“Kenapa datangnya telat?”
“Saya tersesat, bu..”
“Tersesat dimana?”
“Di jalan, bu..”
“Kok bisa sampai tersesat?”
“Bisa, bu! Soalnya tadi saya tersesat di jalan yang namanya ‘kehidupan’..”
“Maksud kamu?”
“Yaa, ibu pikir aja kira-kira kenapa”
“Aduh.. kamu bikin ibu pusing aja! Nggak usah mengalihkan pembicaraan atau kamu nggak boleh ikut pelajaran ibu! Sekarang jawab yang jujur! Kenapa kamu telat?”
“Maksud saya, tadi saya kesiangan, bu..”
“Kenapa bisa kesiangan?”
“Saya habis bergadang, bu”
“ngapain kamu bergadang? Ingat kata bang Roma! ‘bergadang jangan bergadaaaang.. bila tiada artinyaa.. bergadang boleh sajaa.. kalau ada perlunyaaa’..”
“Wah, suara ibu bagus! Ibu cocok kalau jadi penyanyi” ucap Lusy sambil bertepuk tangan dan anak-anak yang lain pun tertular ikut bertepuk tangan juga.
“Ah, masa’, sih?”
“Iya, bu! Serius saya nggak bohong!” sahut Lusy jujur. Memang benar, ibu Tiwi selaku wali kelas kami memang cantik dan suaranya pun bagus. Dan pada akhirnya Lusy dipersilahkan duduk tanpa diberi satu hukuman pun. Ada-ada aja akalnya.
Lusy adalah kawan Luna yang rada gokil nan usil. Luna kenal dengannya pada saat kegiatan MOS minggu lalu. Ada tingkah Lusy pada saat kegiatan MOS sedang berlangsung. Para murid diwajibkan menggunakan sandal jepit ke sekolah. Dan tentu saja Lusy tidak mau memakainya.
“Hei, kamu! Kenapa kamu nggak pakai sandal jepit?”
“Aduh, kak! Masa’ nggak liat di kepala saya ada sandal jepit” jawab Lusy dengan polosnya.
Murid-murid tertawa cekikikan.
“Yang kamu pakai itu, jepitan sandal! Bukanya sandal jepit!!” omel OSIS.
Itulah Lusy. Dan kini, bu Tiwi pergi meninggalkan kelas. Tentu saja kelas 10-3 ributnya bukan main dan nggak main-main. Banyak barang-barang- atau benda-benda asing yang tak di undang yang beterbangan dari sudut ke sudut yang lainnya.
Ada kaus kaki yang udah sebulan belum dicuci-cuci. Ada kutang melayang yang baunya………. udah nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada kolor warna hijau yang ternyata milik Nino. Dia paling berandal di kelas. Sudah jelas, banayk korban yang sudah merelakan uangnya kepada Nino, dengan kata lain memalak! Tetapi yang satu ini beda caranya. Yaitu dengan ilmu hitam kolor ijo yang selalu dijalankannya setiap hari.
Ada juga jaket Naruto Lucki yang ternyata belum juga di cuci. Seluruh kelas menatap tajam penuh amarah kepadanya. Lucki pun buru-buru memasukkan jaketnya ke dalam tas-nya.
“Lucki!! Gimana, sih? Katanya mau dicuci?” Tanya Luna.
“Sorry, Lun! Soalnya minggu ini gue habis jalan-jalan ke mall pake jaket itu. Jadi nggak sempet dicuci, deh”
“Si Cecep meluk bantalnya eneng”
“Apa tuh artinya, Lus?”
“Bujuk buneng” celetuk lusy dalam pantun.
Hari itu suasana riuh sekali. Dan tepat saat kejadian itu, sesosok anak dari kelas 10-1 tercengang melihat kelas Luna dari kaca jendela.
“Ckckck. Ternyata di sekolah ini ada pasarnya juga, ya! Rame, euy!” gumamnya.
Tak lama kemudian, datang pula anak 10-1 yang lainnya.
“Eh, Lin! Ngapain lo disini?” ujar Lury, seraya mengagetkan Lindy, teman akrabnya.
“Aduh, Lindy! Bikin kaget aja! Tuh liat ada pasar”
“Hah? Pasar? Masa’ sih, pasar? Setau gue itu lomba panjat pinang. Tuh liat! Ada baju, celana, kolor pada melayang semuanya!”
“Huss.. kayaknya bukan pasar,deh! Murid-muri pada kesurupan, kali! Tuh liat banyak hantu pada beterbangan!”
“Hei, gue yakin banget itu pasar! Gimana kalau kita namain aja pasar kaget?”
“Iya! Bener juga, tuh! Lo kaget, gue juga kaget!”
“Yuk, kita sebarkan gossip ini ke teman-teman!”
Dan sampai saat ini, kelas Luna dijuluki pasar kaget.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar